I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembahasan dan penanganan masalah
alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi jumlah lahan pertanian
terutama lahan sawah telah berlangsung lama. Sampai saat ini pengendalian alih
fungsi lahan pertanian memerlukan kebijakan yang dapat menyelesaikan secara
fundamental terkait adanya sejumlah kebijakan yang objek pengaturannya adalah
tanah (lahan). Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang jumlahnya
relatif tetap dan tidak mungkin bertambah, maka pengaturan dan pengendalian
dalam penggunaan tanah (lahan) sangat diperlukan. Pengaturan dan
pengendalian dalam penggunaan tanah bertujuan agar perubahan penggunaan tanah
dapat terkendali khususnya dalam perubahan penggunaan fungsi lahan pertanian ke
non pertanian (Dinas Pertanian dan Perternakan Provinsi Kalimantan Tengah, 2013).
Pengalihan lahan pertanian menjadi
non pertanian adalah merupakan konsekuensi dari pertumbuhan penduduk yang terus
bertambah dan perkembangan pembangunan yang terus ditingkatkan berdampak pada
perubahan penggunaan tanah. Konflik penggunaan dan pemanfaatan lahan bersifat
dilematis mengingat peluang perluasan areal pertanian sudah sangat terbatas,
sementara tuntutan terhadap kebutuhan lahan untuk perkembangan sektor industri,
jasa, dan properti semakin meningkat.
|
Dengan demikian perubahan penggunaan lahan sejalan dengan pertumbuhan
ekonomi regional tidak mungkin dapat dihindarkan. Bila keadaan dilematis ini
tidak segera diatasi dengan pengembangan kebijakan pertanahan maka kelangsungan
sistem pertanian sulit dipertahankan, mengingat selama 3 (tiga) dekade terakhir
belum ada sesuatu terobosan teknologi dan kelembagaan yang mampu mengkompensasi
penurunan produksi pertanian akibat berkurangnya tanah-tanah pertanian
(khususnya sawah beririgasi teknis) yang dirubah kepenggunaan lain (Kurdianto,
2011).
Adanya konversi lahan di satu sisi
dan diperlukannya pembangunan jaringan irigasi baru di sisi lain, menunjukkan
suatu kontradiksi yang perlu mendapat perhatian yang seksama. Walaupun konversi
lahan dilakukan untuk kegiatan pembangunan yang memiliki nilai ekonomis tinggi
namun dari segi investasi, hal tersebut berarti sia-sia, karena membuang aset
yang sudah dimiliki. Sementara itu, untuk pembangunan jaringan irigasi baru
sudah barang tentu diperlukan waktu dan dukungan dana yang tidak sedikit. Untuk
membangun sawah beririgasi teknis dibutuhkan dana yang sangat besar, sedangkan
hasil produksi dari sawah baru biasanya jauh lebih rendah bila dibandingkan
dengan produktivitas sawah yang sudah jadi.
Dalam pemanfaatan lahan pertanian
selalu diutamakan seperti industri dan perumahan, yang mana laju alih fungsi
lahan pertanian tersebut dari tahun ke tahun diperkirakan mencapai ratusan ribu
hektar pertahun. Alih fungsi lahan pertanian mengakibatkan dampak
langsung dan tidak langsung yang sangat besar. Lahan sawah yang sudah berubah
fungsi tidak akan dapat menjadi sawah kembali sehingga berdampak negatif
pada produksi pangan, fisik lingkungan dan budaya masyarakat yang hidup di atas
maupun sekitar lahan yang mengalami alih fungsi.
Alih fungsi lahan pertanian subur
yang umumnya terjadi di Jawa dan sekitar daerah perkotaan khususnya belum mampu
diimbangi oleh upaya sistimatis untuk dapat memanfaatkan lahan-lahan yang
relatif kurang subur dan marginal. Pengendalian alih fungsi lahan pertanian,
dan upaya perlindungan lahan pertanian produktif serta perlindungan terhadap
petani merupakan salah satu bentuk kebijakan yang strategis guna mewujudkan
sistem pertanian yang berkelanjutan serta ketahanan, kemandirian dan kedaulatan
pangan.
Dengan lengkapnya landasan yuridis
formal tersebut sebetulnya sudah tidak ada alasan lagi pemerintah daerah
ataupun masyarakat petani untuk mengalih fungsikan lahan pertanian khususnya
beririgasi teknis. Oleh karena itu pemerintah sangat berkepentingan untuk memberlakukan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan
Berkelanjutan, untuk menjadikan pertanian sebagai bagian ketahanan
nasional. Dalam konteks ini, pencegahan alih fungsi lahan sawah beririgasi di
tingkat daerah perlu dipayungi secara yuridis dan disertai dengan penegakan
hukumnya yang dalam hal ini sekaligus diperlukan kelembagaan penegak hukum di
daerah berupa kelembagaan Penyidik Pegawai negeri sipil di daerah. Pemerintah daerah
seharusnya melakukan kegiatan mendorong penegakan hukum untuk mencegah alih
fungsi lahan pertanian khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan irigasi (Dinas
Pertanian dan Perternakan Provinsi Kalimantan Tengah, 2013).
1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan
karya tulis ilmiah ini adalah:
1. Untuk
mengetahui luas lahan persawahan yang
telah beralih fungsi.
2. Untuk
mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi persawahan
ke non persawahan di Kecamatan Kapuas Murung Kabupaten Kapuas.
1.3.
Kegunaan Penulisan
Penelitian ini diharapkan
berguna untuk:
1. Pemerintah
Kabupaten Kapuas, sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun program pangan di
sektor pertanian;
2. Petani,
sebagai bahan informasi betapa pentingnya sawah dalam menunjang produksi pangan
khususnya padi (beras);
3. Peneliti,
sebagai sumber informasi mengenai alih fungsi lahan
pertanian dan sebagai salah satu syarat untuk melanjutkan penulisan usulan
penelitian.
II. TINJAUAN TEORITIS DAN EMPIRIS
2.1. Tinjauan Teoritis
2.1.1.
Kondisi Wilayah Kecamatan Kapuas Murung
Sejak berlakunya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, maka berdasarkan Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2002 yang mengatur pemekaran Provinsi, Kalimantan Tengah memiliki
13 kabupaten dan 1 kota, 120 kecamatan, 67 kedamangan dan Mantir Adat yang
tersebar di setiap desa, 130 kelurahan dan 1.318 desa (Usop, 2012).
Kecamatan Kapuas Murung
merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Kapuas, dimana luas wilayah Kecamatan
Kapuas Murung sebesar 273,09 Km2 mencapai 1,82 persen dari luas
wilayah Kabupaten Kapuas 14.999 Km2, seluruh wilayahnya tidak berbatasan
dengan laut serta sebanyak 13 dari 21 desa di kecamatan Kapuas Murung dilintasi
oleh sungai.
Batas wilayah Kecamatan
Kapuas Murung (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kapuas Tahun 2012) meliputi:
1.
Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Dadahup;
2.
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pulau Petak;
3.
Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kapuas Barat;
4.
Sebelah Timur berbatasan langsung dengan Barito Kuala,
Provinsi Kalimantan
|
Selatan.
Jarak desa/kelurahan
terjauh dengan ibukota Kecamatan Kapuas Murung (Palingkau) sekitar 25 Km,
sedangkan desa/kelurahan terdekat dengan ibukota Kecamatan Kapuas Murung
(Palingkau Baru) sekitar 2-3 Km. Jarak ibukota Kecamatan Kapuas Murung
(Palingkau Baru) dari ibukota Kabupaten Kapuas (Kuala Kapuas) adalah antara 2-3
Km.
Khusus di sektor
pertanian pada padi sawah dan padi ladang, Kecamatan Kapuas Murung pada tahun
2011 merupakan salah satu kecamatan penyumbang terbesar yaitu mencapai 62.950
ton atau 16,51 persen (381.266 ton) dari
jumlah produksi Kabupaten Kapuas (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kapuas, 2012).
Tabel
1. Luas Padi Sawah
dan Ladang di Kecamatan
Kapuas Murung Tahun
2011-2013
Tahun
|
Uraian
|
Luas Tanam (Ha)
|
Hasil Produksi (Ton)
|
2011
|
Padi
Sawah
|
18.375
|
61.152
|
Padi
Ladang
|
580
|
1.798
|
|
Jumlah
|
18.955
|
62.950
|
|
2012
|
Padi
Sawah
|
11.689
|
11.510
|
Padi
Ladang
|
-
|
500
|
|
Jumlah
|
11.689
|
12.010
|
|
2013
|
Padi
Sawah
|
9.616
|
10.094
|
Padi
Ladang
|
-
|
-
|
|
Jumlah
|
9.616
|
10.094
|
Sumber:
|
Dinas
Pertanian Kabupaten Kapuas 2011-2013
|
Berdasarkan
data tahun 2009 jumlah penduduk di Kecamatan Kapuas Murung sebanyak 43.183 jiwa
dan setelah tahun 2010 (setelah pemekaran) jumlah penduduk di Kecamatan Kapuas
Murung adalah 24.589 jiwa. Kemudian pada tahun 2011 meningkat menjadi 24.837
jiwa, tingkat pertumbuhan tahun 2011 adalah 1,01 persen. Pada tahun 2010 dengan
luas wilayah sekitar 273.09 km2, setiap km2 ditempati
penduduk sebayak 90,04 jiwa/km2, sedangkan pada tahun 2011 menjadi
90,95 jiwa/km2 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kapuas, 2012).
2.1.2.
Fungsi Utama Lahan Sawah
Fungsi utama lahan sawah adalah
untuk mendukung pengembangan produksi pangan khususnya padi. Namun justifikasi
tentang perlunya pengendalian alih fungsi lahan sawah harus berbasis pada
pemahaman bahwa lahan sawah mempunyai manfaat ganda (multi fungsi).
Secara holistik, manfaat tersebut
terdiri dari dua kategori: (1) nilai penggunaan (use values), dan (2) manfaat tidak langsung (non use values). Nilai penggunaan mencakup: (1) manfaat langsung,
baik yang nilainya dapat diukur dengan harga (misalnya produksi usahatani)
maupun yang tidak dapat diukur dengan harga (misalnya tersedianya pangan,
wahana rekreasi, penciptaan lapangan kerja); dan (2) manfaat tidak langsung
yang terkait dengan kontribusinya dalam pengendalian banjir, menurunkan laju
erosi, dan sebagainya.
Manfaat tidak langsung mencakup
kontribusinya dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, sebagai wahana
pendidikan, dan sebagainya. Pemahaman yang komprehensif terhadap multi fungsi
lahan sawah sangat diperlukan agar kecenderungan “under valued” terhadap sumberdaya tersebut dapat dihindarkan. (Dinas
Pertanian dan Perternakan Provinsi Kalimantan Tengah, 2013).
Menurut data resmi dari Badan Pusat
Statistik Jakarta Tahun 2005 (BPS), walaupun
proses urbanisasi dan industrialisasi di Indonesia semakin pesat, sebagian
besar penduduk masih tinggal di perdesaan, dan sebagian besar dari mereka
berkerja sebagai petani. Selain itu ketahanan pangan, khususnya bahan-bahan
masyarakat pokok seperti beras, dengan penduduk berjumlah lebih dari 200 juta
jiwa sepenuhnya tergantung pada keberadaan atau perkembangan dari sektor
tersebut. Oleh kerna itu dapat dibayangkan, betapa dasyatnya malapetaka di
Indonesia apabila sektor pertanian sepenuhnya mengalami stagnansi (Tambunan,
2010).
2.1.3. Perlindungan
Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Perlindungan
lahan pertanian berkelanjutan berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun
2009 tentang
Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam
merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina,
mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara
berkelanjutan.
Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan diselenggarakan
dengan tujuan: (1) Melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara
berkelanjutan; (2) Menjamin tersedianya
lahan pertanian pangan secara berkelanjutan; (3) Mewujudkan
kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan; (4) Melindungi kepemilikan lahan
pertanian pangan milik petani; (5) Meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan
petani dan masyarakat; (6) Meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani; (7) Meningkatkan penyediaan lapangan kerja
bagi kehidupan yang layak; (8) Mempertahankan keseimbangan ekologis; dan (9) Mewujudkan
revitalisasi pertanian.
Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 2009 Pasal 6, dinyatakan
bahwa Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan terhadap
lahan pertanian pangan dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan yang
berada di dalam atau di luar kawasan pertanian pangan.
Perlindungan lahan pertanian pangan
berkelanjutan dilakukan dengan penetapan (Pasal 18): (1) Kawasan pertanian
pangan berkelanjutan; (2) Lahan pertanian pangan berkelanjutan di dalam dan di
luar kawasan pertanian pangan berkelanjutan; dan (3) Lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan
di dalam dan di luar kawasan pertanian pangan berkelanjutan.
2.1.4.
Ketentuan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 1 Tahun 2011 Pasal 35 dinyatakan bahwa lahan yang sudah ditetapkan
sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialih fungsikan.
Alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan hanya dapat dilakukan oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah dalam rangka, sebagai berikut: (1) Pengadaan
tanah untuk kepentingan umum; (2)
Terjadi bencana.
Dalam PP Nomor 1 Tahun 2011 Pasal 36
dinyatakan bahwa Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang
dilakukan dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum terbatas pada kepentingan
umum, yang meliput: (1) Jalan umum; (2) Waduk; (3) Bendungan; (4) Irigasi; (5)
Saluran air minum atau air bersih;
(6) Drainase dan sanitasi; (7) Bangunan pengairan; (8) Pelabuhan (9)
Bandar udara; (10) Stasiun dan jalan kereta api; (11) Terminal; (12) Fasilitas
keselamatan umum; (13) Cagar alam; (14) Pembangkit dan jaringan listrik.
Berdasarkan Pasal 45 PP Nomor 1
Tahun 2011, alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dilakukan
karena sering terjadi bencana hanya dapat ditetapkan setelah tersedia lahan
pengganti. Dalam hal bencana mengakibatkan hilang atau rusaknya infrastruktur
secara permanen dan pembangunan infrastruktur pengganti tidak dapat ditunda,
maka alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat dilakukan dengan
ketentuan: (1)
Membebaskan
kepemilikan hak atas tanah;
(2) Menyediakan lahan pengganti terhadap
lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dialih fungsikan paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan setelah alih fungsi lahan.
2.2.
Tinjauan Empiris
Puspasari (2012), dalam penelitian yang berjudul
“Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya
Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang
Timur, Kabupaten Karawang)” berpendapat bahwa selama ini Permasalahan alih
fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian saat ini terus mengalami peningkatan
karena jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan
kebutuhan lahan meningkat. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan
pertanian khusunya lahan sawah di tingkat wilayah adalah jumlah industri dan
proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah. Sedangkan faktor-faktor yang
mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan dipengaruhi
oleh tingkat usia, luas lahan, proporsi pendapatan sektor pertanian, dan
pengalaman bertani.
Pudji (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Faktor yang Mempengaruhi
Alih Fungsi Lahan Pangan Menjadi Kelapa Sawit di Bengkulu: Kasus Petani Di Desa
Kungkai Baru” menyimpulkan bahwa alih fungsi lahan ketanaman atau perkebunan
kelapa sawit adalah faktor-faktor yang menyebabkan konversi lahan
tanaman pangan ke kelapa sawit di Desa Kungkai Baru terbagi atas aspek
ekonomis, teknis, dan lingkungan.
Anitasari (2008) dalam tesisnya yang
berjudul “Pelaksanaan Alih Fungsi Tanah
Pertanian Untuk Pembangunan Perumahan di Kota Semarang” berdasarkan pada
hasil penelitian dan pemabahasan yang dilakukan penulis terhadap pelaksanaan
alih fungsi tanah pertanian dilakukan oleh pemilik tanah dengan memberikan
kuasa kepada perusahaan untuk mengurusnya ke Kantor Pertanahan Kota Semarang.
Setelah keluarnya Ijin Perubahan Penggunaan tanah maka perusahaan melakukan
proses jual beli dengan “mengatas namakan” perseorangan (pemilik salah satu
perusahaan), sehingga tanah yang dimiliki masih berstatus Hak Milik. Karena
perolehan tanah sudah melebihi 1 (satu) hektar maka dimohonkan ijin lokasi
kepada Pemerintah Kota Semarang.
Rais (2013) dalam
penelitiannya yang berjudul “Identifikasi Faktor Penting yang Mempengaruhi
Keberlanjutan Sistem Usahatani Padi di Rawa Lebak Desa Sungai Ambangah
Kecamatan Sungai Raya Kalimantan Barat” menyimpulkan bahwa Faktor
dominan yang mempengaruhi keberlanjutan sistem usahatani padi di rawa lebak
meliputi (1) modal usahatani; (2) pemberantasan jasad pengganggu dan gulma; (3)
kestabilan harga produk usahani; (4) ketersediaan sarana produksi; (5)
keuntungan usahatani; (6) peningkatan produk usahatani; (7) ketersediaan
lembaga keuangan mikro; (8) ketersediaan informasi dan partisipasi rumahtangga
petani dalam mengikuti penyuluhan pertanian; (9) pengaturan tata air; (10)
ketersediaan tenaga kerja; dan (11) pemupukan.
III. PEMBAHASAN
3.1. Luas Lahan Persawahan
yang Telah Beralih Fungsi
Pada pembahasan ini
penulis membahas salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Kapuas Murung dari
21 (dua puluh satu) kelurahan yang ada, pemilihan dilakukan di Kelurahan Palingkau Baru dengan
pertimbangan sebagai berikut: (1) Perekonomiannya
sangat pesat dan juga banyaknya masyarakat yang beralih profesi ke non
persawahan dikarenakan faktor usia, pekerjaan, dan lain-lain (di data
menggunakan kuisioner); (2) Pada tahun 2005-2008 Pendataan Perlindungan Program Sosial (PPPS) mencatat bahwa
Kelurahan Palingkau Baru mengalami kenaikan rumah tangga dengan kondisi sosial
ekonomi terbawah setelah Kelurahan Palingkau Lama, berdasarkan nama dan alamat.
(Badan Pusat Statistik Kabupaten Kapuas, 2012) (3) Pada tahun 2005 Pendataan
Sosial Ekonomi (PSE) untuk mengetahui kemiskinan mikro dengan metodologi umum
yang sama namun krekteria yang disesuaikan dengan masing-masing daerah yang ada
di Kecamatan Kapuas Murung menunjukan bahwa Kelurahan Palingkau Baru mengalami
kenaikan dari tahun 2005-2008.
Berdasarkan uraian di atas
itulah mengapa peneliti tertarik untuk memilih Kelurahan Palingkau Baru sebagai
objek penelitian. Tabel 2 berikut ini
akan uraikan secara ringkas 21 Kelurahan di antaranya luas wilayah masing-masing
kelurahan dan jumlah kepala keluarga yang ada di Kecamatan Kapuas Murung.
|
Tabel
2. Luas Wilayah Menurut
Desa/Kelurahan di Kecamatan
Kapuas Murung
Tahun 2012
No
|
Keluran
|
Luas Wilayah (Ha)
|
(%)
|
Jumlah Kepala Keluarga
|
(%)
|
1
|
Palingkau
Baru
|
2.500
|
7,09
|
1.162
|
13,70
|
2
|
UPT
Palingkau SP1/Palingkau Jaya
|
1.200
|
3,40
|
299
|
3,52
|
3
|
Palingkau
Lama
|
3.500
|
9,92
|
1.964
|
23,15
|
4
|
UPT
Palingkau SP2/Palingkau Asri
|
1.200
|
3,40
|
244
|
2,88
|
5
|
UPT
Palingkau SP3/Palingkau Sejahtra
|
1.200
|
3,40
|
243
|
2,82
|
6
|
Tajepan
|
3.100
|
8,79
|
813
|
9,48
|
7
|
Mampai
|
2.400
|
6,84
|
1.158
|
13,55
|
8
|
Muara
Dadahup
|
2.150
|
6,10
|
654
|
7,71
|
9
|
UPT
Dadahup A6/Saka Bajai
|
1.200
|
3,40
|
75
|
0,88
|
10
|
UPT
Dadahup G4/Bumi Rahayu
|
1.200
|
3,40
|
194
|
2,19
|
11
|
UPT
Dadahup G5/Manggala Permai
|
1.200
|
3,40
|
240
|
2,73
|
12
|
Belawang
|
2.300
|
6,52
|
218
|
2,57
|
13
|
UPT
Dadahup A8/Suka Reja
|
1.100
|
3,12
|
64
|
0,75
|
14
|
UPT
Dadahup A9/Suka Mukti
|
1.100
|
3,12
|
91
|
1,62
|
15
|
Palangkau
Lama
|
2.300
|
6,52
|
157
|
1,85
|
16
|
UPT
Dadahup A7/Bina Sejahtra
|
1.100
|
3,12
|
176
|
2,07
|
17
|
Palangkau
Baru
|
1.500
|
4,26
|
262
|
3,09
|
18
|
UPT
Dadahup C1/Bina Karya
|
1.250
|
3,55
|
172
|
2,03
|
19
|
UPT
Dadahup C2/Bina Mekar
|
1.250
|
3,55
|
99
|
1,07
|
20
|
UPT
Dadahup C3/Bina Subur
|
1.250
|
3,55
|
142
|
1,67
|
21
|
UPT
Dadahup C4/Sumber Mulya
|
1.250
|
3,55
|
57
|
0,67
|
Jumlah
|
35.250
|
100,00
|
8.484
|
100,00
|
Sumber
: Kecamatan Kapuas Murung Tahun 2013
Tabel
4 dapat diuraikan bahwa Keluran Palingkau Baru menempati urutan ke 3 (tiga)
terluas setelah Palingkau Lama dan Tajepan, di tinjau dari jumlah penduduk
kelurahan Palingkau Baru menempati urutan ke 2 (dua) terbanyak setelah
Palingkau Lama. Hal ini yang memicu lahan pertanian beralih fungsi menjadi
permukiman, disamping itu masyarakat setempat berpikiran bahwa usaha pertanian
merupakan usaha sampingan yang untuk memenuhi kebutuhan padi (baras), karena
sebagian besar masyarakat setempat berprofesi sebagai buruh perkebunan dan
hanya pada saat tertentu saja masyarakat setempat mengolah lahannya.
Tabel 3. Luas Penggunaan Tanah di
Kelurahan Palingkau Baru Tahun 2009
No
|
Penggunaan Tanah
|
Luas (Ha)
|
Persentase (%)
|
Keterangan
|
1
|
Jalan
|
9,60
|
0,38
|
Beralih
fungsi
|
2
|
Perkebunan
|
1.196,40
|
47,86
|
Beralih
fungsi
|
3
|
Lokasi Perternakan
|
7,00
|
0,28
|
Beralih
fungsi
|
4
|
Bangunan Umum
|
10,00
|
0,40
|
Beralih
fungsi
|
5
|
Permukiman
|
160,00
|
6,40
|
Beralih
fungsi
|
6
|
Sarana lainnya
|
500,00
|
20,00
|
Beralih
fungsi
|
7
|
Hutan
|
125,00
|
5,00
|
Tidak
beralih fungsi
|
8
|
Rawa
|
15,00
|
0,60
|
Tidak
beralih fungsi
|
9
|
Sungai
|
180,00
|
7,20
|
Tidak
beralih fungsi
|
10
|
Sawah
Dan Ladang
|
300,00
|
12,00
|
Tidak
beralih fungsi
|
Jumlah
|
2.500,00
|
100,00
|
|
Sumber:
|
Program Nasional Pengembangan Masyarakat Mandiri dan Kelurahan Palingkau Baru
Tahun 2010
|
Kelurahan Palingkau
Baru memiliki luas wilayah 2.500,00 Ha yang
dulunya hampir 80 persen persawahan pada tahun 2004-an kini hanya tersisa 12,00
persen hal ini tentu saja di pengaruh oleh beberapa faktor yang menyebabkan
masyarakat beralih fungsi lahan persawahannya menjadi perkebunan, lokasi
perternakan, bangunan umum, permukiman dan sarana lainnya yang persentasenya
sangat tinggi yaitu mencapai 47,85 persen pada perkebunan di susul oleh permukiman 6,40
persen, bangunan umum 0,40 persen dan sarana lainnya 20,00 persen.
Perubahan spesifik dari penggunaan
untuk pertanian ke pemanfaatan bagi non pertanian (khususnya padi) yang
kemudian dikenal dengan istilah alih fungsi (konversi) lahan, semakin waktu
semakin meningkat. Fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan yang
serius di kemudian hari, jika tidak diantisipasi secara serius dari sekarang.
Implikasinya, alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam
kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan
kerugian sosial.
Pengendalian lahan pertanian merupakan
salah satu kebijakan nasional yang strategis untuk tetap memelihara industri
pertanian primer dalam kapasitas penyediaan pangan, dalam kaitannya untuk
mencegah kerugian sosial ekonomi dalam jangka panjang mengingat sifat multi
fungsi lahan pertanian. Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah
menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada
pangan. Intensitas alih fungsi lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian
besar lahan sawah yang beralih fungsi tersebut justru yang produktivitasnya
termasuk kategori sangat tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan sawah
beririgasi teknis atau semi teknis dan berlokasi di kawasan pertanian dimana
tingkat aplikasi teknologi dan kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi
telah maju.
3.2.
|
Faktor-Faktor
yang Mendorong Terjadinya Alih Fungsi
Lahan Persawahan ke Non Persawahan di Kecamatan Kapuas Murung Kabupaten Kapuas
|
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya
alih fungsi persawahan menjadi non persawahan antara lain:
1.
|
Faktor Kependudukan. Pesatnya
peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah untuk
perumahan, jasa, industri, dan fasilitas umum lainnya. Selain itu,
peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan
permintaan lahan akibat peningkatan intensitas kegiatan masyarakat, seperti
lapangan bola atau volly, pusat
perbelanjaan, jalan raya, tempat rekreasi, dan sarana lainnya.
|
2.
|
Kebutuhan
lahan untuk kegiatan non pertanian antar alain pembangunan areal estate,
kawasan industri, kawasan perdagangan, dan jasa-jasa lainnya yang memerlukan
lahan yang luas, sebagian diantaranya berasal dari lahan pertanian termasuk
sawah. Hal ini dapat dimengerti, meningat lokasinya dipilih sedemikian rupa
sehingga dekat dengan pengguna jas yang terkonsentrasi di perkotaan dan
wilayah di sekitarnya (sub urban area).
Lokasi sekitar kota, yang sebelumnya didominasi oleh penggunaan lahan
pertanian, menjadi sasaran pengembangan kegiatan non pertanian mengingat
harganya yang relatif murah serta telah dilengkapi dengan sarana dan
prasarana penunjang seperti jalan raya, listrik, telepon, air bersih, dan
fasilitas lainnya. Selain itu, terdapat keberadaan “sawah kejepit” (lahan yang di sekitarnya perumahan dsb.) yakni
sawah-sawah yang tidak terlalu luas karena daerah sekitarnya sudah beralih
menjadi perumahan atau kawasan industri, sehingga petani pada lahan tersebut
mengalami kesulitan untuk mendapatkan air, tenaga kerja, dan sarana produksi
lainnya, yang memaksa mereka untuk mengalihkan atau menjual tanahnya.
|
3.
|
Faktor
ekonomi, yaitu tingginya land rent (sewa
tanah) yang diperoleh aktivitas sektor non pertanian dibandingkan sektor
pertanian. Rendahnya insentif untuk berusaha tani disebabkan oleh tingginya
biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan
berfluktuasi. Selain itu, karena faktor kebutuhan keluarga petani yang
terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga lainnya
(pendidikan, mencari pekerjaan non pertanian, atau lainnya), sering kali
membuat petani tidak mempunyai pilihan selain menjual sebagian lahan
pertaniannya.
|
4.
|
Faktor sosial budaya, antara lain
keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya
(pengambilan/pembagian) tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas
minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan.
|
5.
|
Degradasi
lingkungan, antara lain kemarau panjang yang menimbulkan kekurangan air untuk
pertanian terutama sawah; penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan
yang berdampak pada peningkatan serangan hama tertentu, serta pencemaran air
irigasi;
|
6.
|
Otonomi daerah yang mengutamakan
pembangunan pada sektor menjanjikan keuntungan jangka pendek lebih tinggi
guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang kurang memperhatikan
kepentingan jangka panjang dan kepentingan nasional yang sebenarnya penting
bagi masyarakat secara keseluruhan.
|
7.
|
Lemahnya sistem perundang-undangan
dan penegakan hukum (Law Enforcement) dari peraturan-peraturan yang
ada.
|
IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil tinjauan, dapat diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Alih
fungsi lahan didomisili pada perkebunan 47,86 persen, permukiman 6,40 persen, Bangunan umum 0,40 persen, lokasi perternakan 0,25
persen dan sarana lain 20 persen.
2. Kelurahan
Palingkau
Baru mengalihkan
tanaman padi ke tanaman
Perkebunan yang terpengaruhi oleh beberapaa
faktor di antaranya yaitu:
(a) Faktor penduduk; (b) Pembangunan sarana umum; (c) Faktor
ekonomi
Faktor sosil budaya;
(d) Degradasi
lingkungan; (e) Otonomi
daerah;
(f) Lemahnya peraturan perundang-undangan
3. Alih fungsi
lahan pertanian khususnya
padi berpengaruh pada produk
pertanian di masa akan datang dengan pertumbuhan penduduk yang
semakin
meningkat sedangkan
sektor pertanian khususnya padi semakin
menurun,
hal
ini tentu saja akan menyebabkan permintaan bahan pangan semakin tinggi dan menyebabkan pemerintah harus mengimpor
bahan pangan khususnya padi.
|
4.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan
hasil tinjauan ini, maka saran yang disampaikan yaitu agar dapat
memperkecil peluang terjadinya konversi lahan sawah dapat dilihat dari dua
sisi, yaitu sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi penawaran dapat berupa
insentif kepada pemilik sawah yang berpotensi tidak untuk dirubah. Dari sisi
permintaan, pengendalian sawah dapat ditempuh melalui:
1.
Mengembangkan pajak tanah yang progresif;
2.
Meningkatkan efisiensi kebutuhan lahan untuk non
pertanian sehingga tidak ada tanah yang terlantar.
3.
Mengembangkan prinsip hemat lahan untuk industri,
perumahan dan perdagangan misalnya pembangunan rumah susun.
4.
Membatasi konversi lahan sawah yang memiliki
produktivitas tinggi, menyerap tenaga kerja pertanian tinggi, dan mempunyai
fungsi lingkungan tinggi.
5.
Mengarahkan kegiatan konversi lahan pertanian untuk
pembangunan kawasan industri, perdagangan, dan perumahan pada kawasan yang
kurang produktif.
6.
Membatasi luas lahan yang dikonversi di setiap
kabupaten/kota yang mengacu pada kemampuan pengadaan pangan mandiri.
7.
Menetapkan Kawasan Pangan Abadi yang tidak boleh
dikonversi, dengan pemberian insentif bagi pemilik lahan dan pemerintah daerah
setempat.
DAFTAR
PUSTAKA
Anitasari.
2008. Pelaksanaan Alih
Fungsi Lahan Pertanian
Untuk Membangun
Perumahan di Kota Semarang (Tesis). Universitas
Diponegoro. Semarang.
Badan
Pusat Statistik
Kabupaten Kapuas. 2012. Statistik
Daerah Kecamatan
Kapuas
Murung 2012. BPS. Kuala Kapuas.
Badan
Pusat Statistik Jakarta. 2005. Analisis
dan Perhitungan Tingkat Kemiskinan
Tahun 2005. BPS. Jakarta
Dinas Pertanian
dan Perternakan. 2013.
Kebijakan Alih Fungsi
Lahan. Dinas Pertanian dan Perternakan. Palangka Raya.
Kurdianto,D.
2011. Alih Fungsi
Lahan Pertanian ke Tanaman Kelapa
Sawit
2013 Jam 20:42 WIB.
Peraturan
Pemerintah
Nomor
1 Tahun 2011 Tentang Fungsi Lahan
Berkelanjutan dilindungi.
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2011
Tentang Fungsi Lahan Berkelanjutan.
Program Nasional
Pengembangan Masyarakat Mandiri. 2010. Proposal Kelurahan
Palingkau Baru. Palingkau. Kuala Kapuas.
Puspasari,A. 2012. Faktor – Faktor yang
Mempengaruhi Alih Fungsi
Lahan
Pertanian dan
Dampaknya Terhadap Pendapatan
Petani (Studi Kasus Desa
Kondangjaya,
Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten
Karawang)
(Skripsi).
Institut Pertanian Bogor.
Bogor. www.repository.ipb.ac.id diakses pada
tanggal 20 mei 2013 Jam 15:08 WIB.
Pudji,
A dan Astuti. 2011. Seminar Nasional Budidaya Pertanian
Urgensi
dan
Strategi Pengendalian Alih Fungsi
Lahan Pertanian di
Bengkulu. Bengkulu
Juli 2011.
Rois dan Rizieq. 2013. Identifikasi Faktor
Penting yang Mempengaruhi
Keberlanjutan
Sistem Usahatani Padi di Rawa Lebak Desa Sungai Ambangah Kecamatan Sungai Raya
Kalimantan Barat. http://share.pdfonline.com
diakses pada tanggal 26 November 2013 Jam 14:34 WIB.
Tambunan.
2010. Pembangunan Pertanian
dan Ketahanan Pangan.
UI-Press.
|
Jakarta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Otonomi
Daerah.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 2002 Tentang Pengaturan Pemekaran Provinsi
Pertanian
Berkelanjutan.
Usop,S.R.
2012. Budaya Betang (Implementasi Pendidikan Karakter di UNPAR). Universitas Palangka Raya. Palangka Raya.
LAYANAN PEMBIAYAAN LE-MERIDIA. perusahaan pinjaman yang memberi saya pinjaman 5.000.000,00 USD Ketika investor pinjaman lain mengabaikan tawaran saya, tetapi Le_Meridian Funding Service memberi saya pinjaman yang berhasil. Mereka langsung terlibat dalam pembiayaan pinjaman dan proyek dalam hal investasi. mereka memberikan solusi pembiayaan untuk perusahaan dan individu yang mencari akses ke dana pasar modal, mereka dapat membantu Anda mendanai proyek Anda atau memperluas bisnis Anda .. Email Kontak :::: lfdsloans@lemeridianfds.com Juga lfdsloans@outlook.com atau Tulis di nomor whatsapp pada 1- (989-394-3740) Good Intend,
BalasHapus