Kamis, 09 Januari 2014

Data Perusahaan
1.    Nama Usaha               : Warung Makan Sangalang Makmur
2.    Bidang Usaha             : Warung Makan
3.    Jenis produk                : Mie Ayam
4.    Alamat Perusahaan    : Pendahara,
                                      Tewang Sangalang Garing,
Katingan
5.    Nomor Telepon          : 05320088782
Data Pemilik
1.    Nama Pemilik             : Martinus D. Sindi
2.    Jabatan                       : Pemilik
3.    Tempat dan Tanggal
Lahir                           : Katingan, 12 Juli 1974
4.    Alamat Rumah           : Pendahara,
                                     Tewang Sangalang,
                                     Katingan
5.    Nomor Telepon          : 085652345661














Struktur Organisasi
 






Alasan Memilih Bisnis Mie Ayam
Seiring bertambahnya jumlah penduduk di Kelurahan Pandahara maka bertambah pula kebutuhan manusia akan pangan, sandang dan papan. Melihat keadaan ini membuka peluang bagi produsen untuk membuka sebuah usaha baru dalam produk makanan. Selain itu juga banyaknya bahan baku yang melimpah dan mudah diperoleh memunculkan sebuah ide untuk membuka usaha Mie Ayam”.
Usaha Mie ayam merupakan bisnis yang cukup menjanjikan, terutama untuk usaha mie gerobak dan kios. Indikasinya terlihat dari tumbuhnya usaha ini setiap tahunnya, di mana kita melihat semakin banyaknya orang yang berwirausaha di bidang ini. Kita juga melihat semakin banyaknya variasi dari usaha mie ayam ini.
Menurut beberapa pengusaha mie ayam, peluang usaha ini masih terbuka lebar mengingat banyaknya penggemar mie ayam. Walaupun banyak saingan usaha ini masih cukup menggiurkan salah satu kuncinya adalah bagaimana membuat resep mie ayam yang enak. Selain itu pengaruh tempat juga menentukan. Dengan pengelolaan yang baik usaha ini akan berjalan dengan sukses.

Analisis Aspek Lingkungan
Sebagian masyarakat Kelurahan Pendahara bekerja sebagai nelayan sungai, petani, dan buruh yang kondisi rumah tangganyanya bisa di bilang sejahtera. Perilaku membeli di masyarakat Kelurahan Pendahara termasuk konsumtif banyak berdiri toko-toko sembako yang menandakan kegiatan perekonomian berjalan. Untuk keamanan menjadi prioritas utama petugas keamanan kelurahan sehingga dirasa cukup aman.

Analisis Aspek Pemasaran
1.    Aspek Makro
Bahan baku utama dari mie ayam ini adalah tepung terigu, ayam, dan daging sapi dapat mudah di temui di pasar pendahara tanpa harus menunggu pasokan dari Kota Palangka Raya. Jadi untuk konsumsi local dan konsumsi cukup terpenuhi.

2.    Aspek Mikro
a.    Jenis produk yang di usahakan adalah berupa makanan mie ayam
b.    Penetapan harga berdasarkan pada biaya produksi yang di sesuaikan
c.    Promosi untuk pengenalan produk melalui brosur dan informasi masyarakat yang pernah mencoba mie ayam tersebut.
d.    Penjualan mie ayam di lakukan di rumah makan dengan pembeli mendatangi rumah makan tersebut.

Analisis Aspek Operasional
1.    Desain produk
Untuk meningkatkan kualitas output maka kami selalu memperhatikan kualitas produksi yang bersih dan sehat dan cara penyajian yang menarik pengungung, serta lokasi berjualan yang bersih.
2.    Proses Produksi
Setelah kita mengetahui keinginan konsumen konsumen seperti apa maka tahap selanjutnya adalah persiapan produksi. Persiapan produksi akan meliputi beberapa aspek,yang paling utama adalah persiapan Sumber Daya Manusia, bahan Baku utama,Bahan baku tambahan, alat Pengolah,Tempat Produksi,serta yang tak kalah penting adalah sumber pendanaan. Sumber Daya Manusia dalam aspek produksi sangat penting perannya mengingat produk mie ayam  ini sebagian besar atau bahkan seluruhnya dikerjakan secara manual,untuk itu tenaga yang terampil dalam mengolah mie ayam mutlak diperlukan.
Ketersediaan bahan baku utama yaitu tepung mesti terjaga stock dan jumlahnya sebab kelangsungan produksi akan terjaga dengan terjaganya stock yang cukup,mengenai bahan baku tambahan berupa daging ayam serta Sayuran yang Segar dan alat pengolah pembuatan mie ayam walaupun kontribusi terhadap proses produksi relative kecil namun keberadaannya mutlak diperlukan.

Analisis Sumber Daya Manusia
Jumlah tenaga kerja yang di butuhkan untuk perusahaan ini terdiri dari:
1.    Dua orang untuk kasir
2.    Dua orang bertugas untuk memasak mie
3.    Empat orang sebagai pelayan
Pekerjaan karyawan bersifat kekeluargaan untuk  menciptakan suasana nyaman dalam bekerja sehingga karyawan betah bekerja.

Tabel Anggaran pendapatan dan Biaya
Tahun 2008-2012
Keterangan
Tahun 1
Tahun 2
Tahun 3
Tahun 3

2008
2009
2010
2011
Pendapatan
600000000
650000000
700000000
710000000
Biaya Biaya




Biaya Bahan Baku
150000000
150000000
155000000
150000000
Biaya Tenaga Kerja
200000000
200000000
210000000
210000000
Listrik dan air
46000000
46000000
47000000
46000000
Proses Produksi
50000000
53000000
50000000
53000000
Perlengkapan
20000000
22000000
22000000
23000000
lain lain
10000000
10000000
10000000
11000000
Laba 
124000000
169000000
206000000
217000000









AKTIVA

PASSIVA

Aktiva Lancar

Hutang

Kas
200000000


Piutang
80000000


Persediaan
70000000


Aktiva tetap

Modal
125000000
Peralatan
150000000


Gedung
250000000


Bangunan
500000000






Total
125000000

125000000
Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang, dan Ancaman
Kekuatan
1.    Harga terjangkau
2.    Kualitas terjamin
3.    Cita rasa Tinggi
Kelemahan
1.    Manajemen tradisional
2.    Sarana dan prasarana sederhana
3.    SDM masih rendah
4.    Bahan baku mudah rusak
Peluang
1.    Pangsa pasar masih luas
2.    Bahan baku mudah didapat
3.    Kurangnya persaingan usaha
Ancaman
1.    Munculnya persaingan usaha
2.    Munculnya variasi makanan baru

Rencana Kebutuan Pinjaman
Untuk memperluas usaha dan menambah produksi maka di perlukan dana sebesar Rp. 250.000.000. Saat ini telah memiliki dana sebesar Rp. 125.000.000. Jumlah kebutuhan dana sebesar Rp. 125.000.000. Dana pinjaman tersebut akan diangsur selama dua tahun perbulan. Adapun agunan untuk pinjaman tersebut adalah tanah dan bangunan yang ada diatas tempat usaha.

Penutup
Demikian rencana bisnis yang disusun dalam rangka untuk memenuhi pihak-pihak yang memerlukan dan bagi pemilik sebagai acuan pengembangan bisnis.





I.  PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembahasan dan penanganan masalah alih fungsi lahan pertanian yang dapat mengurangi jumlah lahan pertanian terutama lahan sawah telah berlangsung lama. Sampai saat ini pengendalian alih fungsi lahan pertanian memerlukan kebijakan yang dapat menyelesaikan secara fundamental terkait adanya sejumlah kebijakan yang objek pengaturannya adalah tanah (lahan). Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang jumlahnya relatif tetap dan tidak mungkin bertambah, maka pengaturan dan pengendalian dalam penggunaan tanah (lahan) sangat diperlukan.  Pengaturan dan pengendalian dalam penggunaan tanah bertujuan agar perubahan penggunaan tanah dapat terkendali khususnya dalam perubahan penggunaan fungsi lahan pertanian ke non pertanian (Dinas Pertanian dan Perternakan Provinsi Kalimantan Tengah, 2013).
Pengalihan lahan pertanian menjadi non pertanian adalah merupakan konsekuensi dari pertumbuhan penduduk yang terus bertambah dan perkembangan pembangunan yang terus ditingkatkan berdampak pada perubahan penggunaan tanah. Konflik penggunaan dan pemanfaatan lahan bersifat dilematis mengingat peluang perluasan areal pertanian sudah sangat terbatas, sementara tuntutan terhadap kebutuhan lahan untuk perkembangan sektor industri, jasa, dan properti semakin meningkat.
1
 
Dengan demikian perubahan penggunaan lahan sejalan dengan pertumbuhan ekonomi regional tidak mungkin dapat dihindarkan. Bila keadaan dilematis ini tidak segera diatasi dengan pengembangan kebijakan pertanahan maka kelangsungan sistem pertanian sulit dipertahankan, mengingat selama 3 (tiga) dekade terakhir belum ada sesuatu terobosan teknologi dan kelembagaan yang mampu mengkompensasi penurunan produksi pertanian akibat berkurangnya tanah-tanah pertanian (khususnya sawah beririgasi teknis) yang dirubah kepenggunaan lain (Kurdianto, 2011).
Adanya konversi lahan di satu sisi dan diperlukannya pembangunan jaringan irigasi baru di sisi lain, menunjukkan suatu kontradiksi yang perlu mendapat perhatian yang seksama. Walaupun konversi lahan dilakukan untuk kegiatan pembangunan yang memiliki nilai ekonomis tinggi namun dari segi investasi, hal tersebut berarti sia-sia, karena membuang aset yang sudah dimiliki. Sementara itu, untuk pembangunan jaringan irigasi baru sudah barang tentu diperlukan waktu dan dukungan dana yang tidak sedikit. Untuk membangun sawah beririgasi teknis dibutuhkan dana yang sangat besar, sedangkan hasil produksi dari sawah baru biasanya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan produktivitas sawah yang sudah jadi.
Dalam pemanfaatan lahan pertanian selalu diutamakan seperti industri dan perumahan, yang mana laju alih fungsi lahan pertanian tersebut dari tahun ke tahun diperkirakan mencapai ratusan ribu hektar pertahun.  Alih fungsi lahan pertanian mengakibatkan dampak langsung dan tidak langsung yang sangat besar. Lahan sawah yang sudah berubah fungsi tidak akan dapat menjadi sawah kembali sehingga berdampak  negatif pada produksi pangan, fisik lingkungan dan budaya masyarakat yang hidup di atas maupun sekitar lahan yang mengalami alih fungsi.
Alih fungsi lahan pertanian subur yang umumnya terjadi di Jawa dan sekitar daerah perkotaan khususnya belum mampu diimbangi oleh upaya sistimatis untuk dapat memanfaatkan lahan-lahan yang relatif kurang subur dan marginal. Pengendalian alih fungsi lahan pertanian, dan upaya perlindungan lahan pertanian produktif serta perlindungan terhadap petani merupakan salah satu bentuk kebijakan yang strategis guna mewujudkan sistem pertanian yang berkelanjutan serta ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan.
Dengan lengkapnya landasan yuridis formal tersebut sebetulnya sudah tidak ada alasan lagi pemerintah daerah ataupun masyarakat petani untuk mengalih fungsikan lahan pertanian khususnya beririgasi teknis. Oleh karena itu pemerintah sangat berkepentingan untuk memberlakukan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan,  untuk menjadikan pertanian sebagai bagian ketahanan nasional. Dalam konteks ini, pencegahan alih fungsi lahan sawah beririgasi di tingkat daerah perlu dipayungi secara yuridis dan disertai dengan penegakan hukumnya yang dalam hal ini sekaligus diperlukan kelembagaan penegak hukum di daerah berupa kelembagaan Penyidik Pegawai negeri sipil di daerah. Pemerintah daerah seharusnya melakukan kegiatan mendorong penegakan hukum untuk mencegah alih fungsi lahan pertanian khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan irigasi (Dinas Pertanian dan Perternakan Provinsi Kalimantan Tengah, 2013).



1.2. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan karya tulis ilmiah ini adalah:
1.         Untuk mengetahui luas  lahan persawahan yang telah beralih fungsi.
2.         Untuk mengkaji   faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi persawahan ke non persawahan di Kecamatan Kapuas Murung Kabupaten Kapuas.

1.3. Kegunaan Penulisan
Penelitian ini diharapkan berguna untuk:
1.         Pemerintah Kabupaten Kapuas, sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun program pangan di sektor pertanian;
2.         Petani, sebagai bahan informasi betapa pentingnya sawah dalam menunjang produksi pangan khususnya padi (beras);
3.         Peneliti, sebagai  sumber  informasi mengenai alih fungsi lahan pertanian dan sebagai salah satu syarat untuk melanjutkan penulisan usulan penelitian.







II.  TINJAUAN TEORITIS DAN EMPIRIS
2.1. Tinjauan Teoritis
2.1.1. Kondisi Wilayah Kecamatan Kapuas Murung
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2002 yang mengatur pemekaran Provinsi, Kalimantan Tengah memiliki 13 kabupaten dan 1 kota, 120 kecamatan, 67 kedamangan dan Mantir Adat yang tersebar di setiap desa, 130 kelurahan dan 1.318 desa (Usop, 2012).
Kecamatan Kapuas Murung merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Kapuas, dimana luas wilayah Kecamatan Kapuas Murung sebesar 273,09 Km2 mencapai 1,82 persen dari luas wilayah Kabupaten Kapuas 14.999 Km2, seluruh wilayahnya tidak berbatasan dengan laut serta sebanyak 13 dari 21 desa di kecamatan Kapuas Murung dilintasi oleh sungai.
Batas wilayah Kecamatan Kapuas Murung (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kapuas Tahun 2012) meliputi:
1.   Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Dadahup;
2.   Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Pulau Petak;
3.   Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kapuas Barat;
4.   Sebelah Timur  berbatasan  langsung dengan Barito  Kuala,  Provinsi Kalimantan
   
5
 
  Selatan.
Jarak desa/kelurahan terjauh dengan ibukota Kecamatan Kapuas Murung (Palingkau) sekitar 25 Km, sedangkan desa/kelurahan terdekat dengan ibukota Kecamatan Kapuas Murung (Palingkau Baru) sekitar 2-3 Km. Jarak ibukota Kecamatan Kapuas Murung (Palingkau Baru) dari ibukota Kabupaten Kapuas (Kuala Kapuas) adalah antara 2-3 Km.
Khusus di sektor pertanian pada padi sawah dan padi ladang, Kecamatan Kapuas Murung pada tahun 2011 merupakan salah satu kecamatan penyumbang terbesar yaitu mencapai 62.950 ton atau 16,51 persen (381.266 ton)  dari jumlah produksi Kabupaten Kapuas (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kapuas, 2012).

Tabel 1. Luas   Padi   Sawah   dan  Ladang   di   Kecamatan   Kapuas  Murung  Tahun
             2011-2013

Tahun
Uraian
Luas Tanam (Ha)
Hasil Produksi (Ton)
2011
Padi Sawah
18.375
61.152
Padi Ladang
    580
              1.798
Jumlah
18.955
 62.950
2012
Padi Sawah
11.689
 11.510
Padi Ladang
-
                 500
Jumlah
11.689
 12.010
2013
Padi Sawah
9.616
 10.094
Padi Ladang
-
                -
Jumlah
9.616
10.094

Sumber:  
Dinas Pertanian Kabupaten Kapuas 2011-2013


            Berdasarkan data tahun 2009 jumlah penduduk di Kecamatan Kapuas Murung sebanyak 43.183 jiwa dan setelah tahun 2010 (setelah pemekaran) jumlah penduduk di Kecamatan Kapuas Murung adalah 24.589 jiwa. Kemudian pada tahun 2011 meningkat menjadi 24.837 jiwa, tingkat pertumbuhan tahun 2011 adalah 1,01 persen. Pada tahun 2010 dengan luas wilayah sekitar 273.09 km2, setiap km2 ditempati penduduk sebayak 90,04 jiwa/km2, sedangkan pada tahun 2011 menjadi 90,95 jiwa/km2 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kapuas, 2012).

2.1.2. Fungsi Utama Lahan Sawah
Fungsi utama lahan sawah adalah untuk mendukung pengembangan produksi pangan khususnya padi. Namun justifikasi tentang perlunya pengendalian alih fungsi lahan sawah harus berbasis pada pemahaman bahwa lahan sawah mempunyai manfaat ganda (multi fungsi).
Secara holistik, manfaat tersebut terdiri dari dua kategori: (1) nilai penggunaan (use values), dan (2) manfaat tidak langsung (non use values). Nilai penggunaan mencakup: (1) manfaat langsung, baik yang nilainya dapat diukur dengan harga (misalnya produksi usahatani) maupun yang tidak dapat diukur dengan harga (misalnya tersedianya pangan, wahana rekreasi, penciptaan lapangan kerja); dan (2) manfaat tidak langsung yang terkait dengan kontribusinya dalam pengendalian banjir, menurunkan laju erosi, dan sebagainya.
Manfaat tidak langsung mencakup kontribusinya dalam mempertahankan keanekaragaman hayati, sebagai wahana pendidikan, dan sebagainya. Pemahaman yang komprehensif terhadap multi fungsi lahan sawah sangat diperlukan agar kecenderungan “under valued” terhadap sumberdaya tersebut dapat dihindarkan. (Dinas Pertanian dan Perternakan Provinsi Kalimantan Tengah, 2013).
Menurut data resmi dari Badan Pusat Statistik Jakarta Tahun 2005  (BPS), walaupun proses urbanisasi dan industrialisasi di Indonesia semakin pesat, sebagian besar penduduk masih tinggal di perdesaan, dan sebagian besar dari mereka berkerja sebagai petani. Selain itu ketahanan pangan, khususnya bahan-bahan masyarakat pokok seperti beras, dengan penduduk berjumlah lebih dari 200 juta jiwa sepenuhnya tergantung pada keberadaan atau perkembangan dari sektor tersebut. Oleh kerna itu dapat dibayangkan, betapa dasyatnya malapetaka di Indonesia apabila sektor pertanian sepenuhnya mengalami stagnansi (Tambunan, 2010).

2.1.3. Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan               
Perlindungan lahan pertanian berkelanjutan berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan adalah sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan, dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan.
Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan diselenggarakan dengan tujuan: (1) Melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan;   (2) Menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara berkelanjutan;                     (3) Mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan; (4) Melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik petani; (5) Meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat; (6) Meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani;   (7) Meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak; (8) Mempertahankan keseimbangan ekologis; dan (9) Mewujudkan revitalisasi pertanian.
Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 2009 Pasal 6, dinyatakan bahwa Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilakukan terhadap lahan pertanian pangan dan lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan yang berada di dalam atau di luar kawasan pertanian pangan.
Perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan dilakukan dengan penetapan (Pasal 18): (1) Kawasan pertanian pangan berkelanjutan; (2) Lahan pertanian pangan berkelanjutan di dalam dan di luar kawasan pertanian pangan berkelanjutan; dan   (3) Lahan cadangan pertanian pangan berkelanjutan di dalam dan di luar kawasan pertanian pangan berkelanjutan.

2.1.4. Ketentuan Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2011 Pasal 35 dinyatakan bahwa lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialih fungsikan. Alih fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan hanya dapat dilakukan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dalam rangka, sebagai berikut: (1) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum;        (2) Terjadi bencana.
Dalam PP Nomor 1 Tahun 2011 Pasal 36 dinyatakan bahwa Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan yang dilakukan dalam rangka pengadaan tanah untuk kepentingan umum terbatas pada kepentingan umum, yang meliput: (1) Jalan umum; (2) Waduk; (3) Bendungan; (4) Irigasi; (5) Saluran air minum atau air bersih;          (6) Drainase dan sanitasi; (7) Bangunan pengairan; (8) Pelabuhan (9) Bandar udara; (10) Stasiun dan jalan kereta api; (11) Terminal; (12) Fasilitas keselamatan umum; (13) Cagar alam; (14) Pembangkit dan jaringan listrik.
Berdasarkan Pasal 45 PP Nomor 1 Tahun 2011, alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dilakukan karena sering terjadi bencana hanya dapat ditetapkan setelah tersedia lahan pengganti. Dalam hal bencana mengakibatkan hilang atau rusaknya infrastruktur secara permanen dan pembangunan infrastruktur pengganti tidak dapat ditunda, maka alih fungsi lahan pertanian pangan berkelanjutan dapat dilakukan dengan ketentuan: (1) Membebaskan kepemilikan hak atas tanah;            (2) Menyediakan lahan pengganti terhadap lahan pertanian pangan berkelanjutan yang dialih fungsikan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan setelah alih fungsi lahan.

2.2. Tinjauan Empiris
Puspasari (2012), dalam penelitian yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian dan Dampaknya Terhadap Pendapatan Petani (Studi Kasus Desa Kondangjaya, Kecamatan Karawang Timur, Kabupaten Karawang)” berpendapat bahwa selama ini Permasalahan alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian saat ini terus mengalami peningkatan karena jumlah penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi menyebabkan kebutuhan lahan meningkat. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian khusunya lahan sawah di tingkat wilayah adalah jumlah industri dan proporsi luas lahan sawah terhadap luas wilayah. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan dipengaruhi oleh tingkat usia, luas lahan, proporsi pendapatan sektor pertanian, dan pengalaman bertani.
            Pudji (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pangan Menjadi Kelapa Sawit di Bengkulu: Kasus Petani Di Desa Kungkai Baru” menyimpulkan bahwa alih fungsi lahan ketanaman atau perkebunan kelapa sawit adalah faktor-faktor yang menyebabkan konversi lahan tanaman pangan ke kelapa sawit di Desa Kungkai Baru terbagi atas aspek ekonomis, teknis, dan lingkungan.      
            Anitasari (2008) dalam tesisnya yang berjudul “Pelaksanaan Alih Fungsi Tanah Pertanian Untuk Pembangunan Perumahan di Kota Semarang” berdasarkan pada hasil penelitian dan pemabahasan yang dilakukan penulis terhadap pelaksanaan alih fungsi tanah pertanian dilakukan oleh pemilik tanah dengan memberikan kuasa kepada perusahaan untuk mengurusnya ke Kantor Pertanahan Kota Semarang. Setelah keluarnya Ijin Perubahan Penggunaan tanah maka perusahaan melakukan proses jual beli dengan “mengatas namakan” perseorangan (pemilik salah satu perusahaan), sehingga tanah yang dimiliki masih berstatus Hak Milik. Karena perolehan tanah sudah melebihi 1 (satu) hektar maka dimohonkan ijin lokasi kepada Pemerintah Kota Semarang.
Rais (2013) dalam penelitiannya yang berjudul “Identifikasi Faktor Penting yang Mempengaruhi Keberlanjutan Sistem Usahatani Padi di Rawa Lebak Desa Sungai Ambangah Kecamatan Sungai Raya Kalimantan Barat” menyimpulkan bahwa Faktor dominan yang mempengaruhi keberlanjutan sistem usahatani padi di rawa lebak meliputi (1) modal usahatani; (2) pemberantasan jasad pengganggu dan gulma; (3) kestabilan harga produk usahani; (4) ketersediaan sarana produksi; (5) keuntungan usahatani; (6) peningkatan produk usahatani; (7) ketersediaan lembaga keuangan mikro; (8) ketersediaan informasi dan partisipasi rumahtangga petani dalam mengikuti penyuluhan pertanian; (9) pengaturan tata air; (10) ketersediaan tenaga kerja; dan (11) pemupukan.
















IIIPEMBAHASAN
3.1. Luas Lahan Persawahan yang Telah Beralih Fungsi
Pada pembahasan ini penulis membahas salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Kapuas Murung dari 21 (dua puluh satu) kelurahan yang ada, pemilihan  dilakukan di Kelurahan Palingkau Baru dengan pertimbangan sebagai berikut:        (1) Perekonomiannya sangat pesat dan juga banyaknya masyarakat yang beralih profesi ke non persawahan dikarenakan faktor usia, pekerjaan, dan lain-lain (di data menggunakan kuisioner); (2) Pada tahun 2005-2008 Pendataan Perlindungan  Program Sosial (PPPS) mencatat bahwa Kelurahan Palingkau Baru mengalami kenaikan rumah tangga dengan kondisi sosial ekonomi terbawah setelah Kelurahan Palingkau Lama, berdasarkan nama dan alamat. (Badan Pusat Statistik Kabupaten Kapuas, 2012) (3) Pada tahun 2005 Pendataan Sosial Ekonomi (PSE) untuk mengetahui kemiskinan mikro dengan metodologi umum yang sama namun krekteria yang disesuaikan dengan masing-masing daerah yang ada di Kecamatan Kapuas Murung menunjukan bahwa Kelurahan Palingkau Baru mengalami kenaikan dari tahun 2005-2008.
Berdasarkan uraian di atas itulah mengapa peneliti tertarik untuk memilih Kelurahan Palingkau Baru sebagai objek penelitian. Tabel  2 berikut ini akan uraikan secara ringkas 21 Kelurahan di antaranya luas wilayah masing-masing kelurahan dan jumlah kepala keluarga yang ada di Kecamatan Kapuas Murung.

13
 
 


Tabel 2. Luas  Wilayah  Menurut  Desa/Kelurahan  di  Kecamatan   Kapuas   Murung
             Tahun 2012
No
Keluran
Luas Wilayah (Ha)
(%)
Jumlah Kepala Keluarga
(%)
1
Palingkau Baru
2.500
7,09
      1.162
 13,70
2
UPT Palingkau SP1/Palingkau Jaya
1.200
3,40
 299
3,52
3
Palingkau Lama
3.500
9,92
      1.964
 23,15
4
UPT Palingkau SP2/Palingkau Asri
1.200
3,40
 244
2,88
5
UPT Palingkau SP3/Palingkau Sejahtra
1.200
3,40
 243
2,82
6
Tajepan
3.100
8,79
 813
9,48
7
Mampai
2.400
6,84
       1.158
 13,55
8
Muara Dadahup
2.150
6,10
  654
7,71
9
UPT Dadahup A6/Saka Bajai
1.200
3,40
     75
0,88
10
UPT Dadahup G4/Bumi Rahayu
1.200
3,40
     194
2,19
11
UPT Dadahup G5/Manggala Permai
1.200
3,40
    240
2,73
12
Belawang
2.300
6,52
    218
2,57
13
UPT Dadahup A8/Suka Reja
1.100
3,12
      64
0,75
14
UPT Dadahup A9/Suka Mukti
1.100
3,12
      91
1,62
15
Palangkau Lama
2.300
6,52
    157
1,85
16
UPT Dadahup A7/Bina Sejahtra
1.100
3,12
    176
2,07
17
Palangkau Baru
1.500
4,26
    262
3,09
18
UPT Dadahup C1/Bina Karya
1.250
3,55
    172
2,03
19
UPT Dadahup C2/Bina Mekar
1.250
3,55
     99
1,07
20
UPT Dadahup C3/Bina Subur
1.250
3,55
   142
1,67
21
UPT Dadahup C4/Sumber Mulya
1.250
3,55
    57
 0,67
Jumlah
     35.250
100,00
8.484
100,00
Sumber : Kecamatan Kapuas Murung Tahun 2013

Tabel 4 dapat diuraikan bahwa Keluran Palingkau Baru menempati urutan ke 3 (tiga) terluas setelah Palingkau Lama dan Tajepan, di tinjau dari jumlah penduduk kelurahan Palingkau Baru menempati urutan ke 2 (dua) terbanyak setelah Palingkau Lama. Hal ini yang memicu lahan pertanian beralih fungsi menjadi permukiman, disamping itu masyarakat setempat berpikiran bahwa usaha pertanian merupakan usaha sampingan yang untuk memenuhi kebutuhan padi (baras), karena sebagian besar masyarakat setempat berprofesi sebagai buruh perkebunan dan hanya pada saat tertentu saja masyarakat setempat mengolah lahannya.
Tabel 3. Luas Penggunaan Tanah di Kelurahan Palingkau Baru Tahun 2009
No
Penggunaan Tanah
Luas (Ha)
Persentase (%)
Keterangan
1

Jalan
      9,60
 0,38
Beralih fungsi
2
Perkebunan
1.196,40
47,86
Beralih fungsi
3
Lokasi Perternakan
      7,00
 0,28
Beralih fungsi
4
Bangunan Umum
    10,00
 0,40
Beralih fungsi
5
Permukiman
  160,00
 6,40
Beralih fungsi
6
Sarana lainnya
  500,00
       20,00
Beralih fungsi
7
Hutan
     125,00
         5,00
Tidak beralih fungsi
8
Rawa
   15,00
 0,60
Tidak beralih fungsi
9

Sungai
 180,00
 7,20
Tidak beralih fungsi
10

Sawah Dan Ladang
 300,00
       12,00
Tidak beralih fungsi
Jumlah
  2.500,00
     100,00


Sumber:
Program Nasional    Pengembangan    Masyarakat    Mandiri dan Kelurahan Palingkau Baru Tahun 2010     


Kelurahan Palingkau Baru memiliki luas  wilayah 2.500,00 Ha yang dulunya hampir 80 persen persawahan pada tahun 2004-an kini hanya tersisa 12,00 persen hal ini tentu saja di pengaruh oleh beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat beralih fungsi lahan persawahannya menjadi perkebunan, lokasi perternakan, bangunan umum, permukiman dan sarana lainnya yang persentasenya sangat tinggi yaitu mencapai 47,85 persen  pada perkebunan di susul oleh permukiman 6,40 persen, bangunan umum 0,40 persen dan sarana lainnya 20,00 persen.
Perubahan spesifik dari penggunaan untuk pertanian ke pemanfaatan bagi non pertanian (khususnya padi) yang kemudian dikenal dengan istilah alih fungsi (konversi) lahan, semakin waktu semakin meningkat. Fenomena ini tentunya dapat mendatangkan permasalahan yang serius di kemudian hari, jika tidak diantisipasi secara serius dari sekarang. Implikasinya, alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam kapasitas penyediaan pangan, dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial.
Pengendalian lahan pertanian merupakan salah satu kebijakan nasional yang strategis untuk tetap memelihara industri pertanian primer dalam kapasitas penyediaan pangan, dalam kaitannya untuk mencegah kerugian sosial ekonomi dalam jangka panjang mengingat sifat multi fungsi lahan pertanian. Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain telah menjadi salah satu ancaman yang serius terhadap keberlanjutan swasembada pangan. Intensitas alih fungsi lahan masih sulit dikendalikan, dan sebagian besar lahan sawah yang beralih fungsi tersebut justru yang produktivitasnya termasuk kategori sangat tinggi. Lahan-lahan tersebut adalah lahan sawah beririgasi teknis atau semi teknis dan berlokasi di kawasan pertanian dimana tingkat aplikasi teknologi dan kelembagaan penunjang pengembangan produksi padi telah maju.


3.2. 
Faktor-Faktor yang Mendorong  Terjadinya Alih Fungsi Lahan Persawahan ke Non Persawahan di Kecamatan  Kapuas Murung Kabupaten Kapuas

Faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih fungsi persawahan menjadi non persawahan antara lain:
1.  
Faktor Kependudukan. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan permintaan tanah untuk perumahan, jasa, industri, dan fasilitas umum lainnya. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan akibat peningkatan intensitas kegiatan masyarakat, seperti lapangan bola atau volly, pusat perbelanjaan, jalan raya, tempat rekreasi, dan sarana lainnya.
2.
Kebutuhan lahan untuk kegiatan non pertanian antar alain pembangunan areal estate, kawasan industri, kawasan perdagangan, dan jasa-jasa lainnya yang memerlukan lahan yang luas, sebagian diantaranya berasal dari lahan pertanian termasuk sawah. Hal ini dapat dimengerti, meningat lokasinya dipilih sedemikian rupa sehingga dekat dengan pengguna jas yang terkonsentrasi di perkotaan dan wilayah di sekitarnya (sub urban area). Lokasi sekitar kota, yang sebelumnya didominasi oleh penggunaan lahan pertanian, menjadi sasaran pengembangan kegiatan non pertanian mengingat harganya yang relatif murah serta telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang seperti jalan raya, listrik, telepon, air bersih, dan fasilitas lainnya. Selain itu, terdapat keberadaan “sawah kejepit” (lahan yang di sekitarnya perumahan dsb.) yakni sawah-sawah yang tidak terlalu luas karena daerah sekitarnya sudah beralih menjadi perumahan atau kawasan industri, sehingga petani pada lahan tersebut mengalami kesulitan untuk mendapatkan air, tenaga kerja, dan sarana produksi lainnya, yang memaksa mereka untuk mengalihkan atau menjual tanahnya.
3.
Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent (sewa tanah) yang diperoleh aktivitas sektor non pertanian dibandingkan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk berusaha tani disebabkan oleh tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu, karena faktor kebutuhan keluarga petani yang terdesak oleh kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga lainnya (pendidikan, mencari pekerjaan non pertanian, atau lainnya), sering kali membuat petani tidak mempunyai pilihan selain menjual sebagian lahan pertaniannya.
4.
Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan terfragmentasinya (pengambilan/pembagian) tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimum skala ekonomi usaha yang menguntungkan.
5.
Degradasi lingkungan, antara lain kemarau panjang yang menimbulkan kekurangan air untuk pertanian terutama sawah; penggunaan pupuk dan pestisida secara berlebihan yang berdampak pada peningkatan serangan hama tertentu, serta pencemaran air irigasi;
6.
Otonomi daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor menjanjikan keuntungan jangka pendek lebih tinggi guna meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang kurang memperhatikan kepentingan jangka panjang dan kepentingan nasional yang sebenarnya penting bagi masyarakat secara keseluruhan.
7.
Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum (Law Enforcement) dari peraturan-peraturan yang ada.














 





IV.  PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan   hasil  tinjauan, dapat  diperoleh  beberapa  kesimpulan sebagai berikut:
1.         Alih  fungsi lahan  didomisili  pada  perkebunan 47,86 persen, permukiman      6,40 persen, Bangunan  umum 0,40 persen, lokasi perternakan 0,25 persen dan  sarana lain 20 persen.
2.         Kelurahan   Palingkau   Baru    mengalihkan    tanaman   padi     ke    tanaman
Perkebunan   yang   terpengaruhi oleh   beberapaa  faktor di  antaranya  yaitu:
(a) Faktor penduduk;     (b) Pembangunan sarana umum;   (c) Faktor ekonomi
Faktor  sosil  budaya;   (d)     Degradasi   lingkungan;   (e)   Otonomi   daerah;
(f) Lemahnya  peraturan  perundang-undangan
3.         Alih   fungsi   lahan   pertanian   khususnya   padi   berpengaruh  pada  produk
pertanian  di masa  akan datang dengan pertumbuhan penduduk yang semakin
meningkat  sedangkan   sektor pertanian  khususnya  padi   semakin  menurun,
hal ini tentu saja akan menyebabkan permintaan  bahan pangan semakin tinggi dan  menyebabkan   pemerintah  harus  mengimpor bahan  pangan  khususnya padi.



20
 
 


4.2. Saran
            Berdasarkan kesimpulan hasil tinjauan ini, maka saran yang disampaikan yaitu agar dapat memperkecil peluang terjadinya konversi lahan sawah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penawaran dan permintaan. Dari sisi penawaran dapat berupa insentif kepada pemilik sawah yang berpotensi tidak untuk dirubah. Dari sisi permintaan, pengendalian sawah dapat ditempuh melalui:
1.                  Mengembangkan pajak tanah yang progresif;
2.                  Meningkatkan efisiensi kebutuhan lahan untuk non pertanian sehingga tidak ada tanah yang terlantar.
3.                  Mengembangkan prinsip hemat lahan untuk industri, perumahan dan perdagangan misalnya pembangunan rumah susun.
4.                  Membatasi konversi lahan sawah yang memiliki produktivitas tinggi, menyerap tenaga kerja pertanian tinggi, dan mempunyai fungsi lingkungan tinggi.
5.                  Mengarahkan kegiatan konversi lahan pertanian untuk pembangunan kawasan industri, perdagangan, dan perumahan pada kawasan yang kurang produktif.
6.                  Membatasi luas lahan yang dikonversi di setiap kabupaten/kota yang mengacu pada kemampuan pengadaan pangan mandiri.
7.                  Menetapkan Kawasan Pangan Abadi yang tidak boleh dikonversi, dengan pemberian insentif bagi pemilik lahan dan pemerintah daerah setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Anitasari. 2008.  Pelaksanaan  Alih   Fungsi  Lahan   Pertanian   Untuk   Membangun
Perumahan di Kota Semarang (Tesis). Universitas Diponegoro. Semarang.

Badan   Pusat  Statistik  Kabupaten   Kapuas.  2012.   Statistik     Daerah   Kecamatan
 Kapuas  Murung 2012. BPS. Kuala Kapuas.

Badan  Pusat  Statistik  Jakarta.  2005.  Analisis dan Perhitungan Tingkat Kemiskinan
            Tahun 2005. BPS. Jakarta

Dinas  Pertanian   dan   Perternakan.  2013.  Kebijakan  Alih  Fungsi  Lahan.  Dinas      Pertanian dan Perternakan. Palangka Raya.

Kurdianto,D. 2011.  Alih   Fungsi   Lahan   Pertanian    ke Tanaman    Kelapa    Sawit
            http://uripsantoso.wordpress.com/page/47/ diakses pada tanggal 10 November
2013 Jam 20:42 WIB.

Peraturan   Pemerintah      Nomor      1      Tahun   2011      Tentang      Fungsi  Lahan
            Berkelanjutan dilindungi.
 
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2011 Tentang Fungsi Lahan Berkelanjutan.
Program   Nasional   Pengembangan   Masyarakat Mandiri. 2010. Proposal Kelurahan
Palingkau Baru. Palingkau. Kuala Kapuas.

Puspasari,A. 2012.  Faktor – Faktor    yang    Mempengaruhi     Alih   Fungsi   Lahan
Pertanian  dan  Dampaknya  Terhadap  Pendapatan  Petani  (Studi Kasus Desa 
Kondangjaya,     Kecamatan    Karawang    Timur,     Kabupaten    Karawang)
(Skripsi).       Institut  Pertanian   Bogor.   Bogor.      www.repository.ipb.ac.id diakses pada tanggal 20 mei 2013 Jam 15:08 WIB.

Pudji, A  dan Astuti.   2011.   Seminar   Nasional Budidaya    Pertanian   Urgensi  dan
Strategi Pengendalian  Alih  Fungsi Lahan  Pertanian   di Bengkulu. Bengkulu
Juli 2011.

Rois  dan Rizieq. 2013. Identifikasi     Faktor     Penting         yang      Mempengaruhi
Keberlanjutan Sistem Usahatani Padi di Rawa Lebak Desa Sungai Ambangah Kecamatan Sungai Raya Kalimantan Barat. http://share.pdfonline.com diakses pada tanggal 26 November 2013 Jam 14:34 WIB.

Tambunan. 2010.  Pembangunan  Pertanian  dan    Ketahanan    Pangan.    UI-Press.
22
 
Jakarta.
Undang-Undang  Republik Indonesia     Nomor 22 Tahun   1999   Tentang    Otonomi
Daerah.

Undang-Undang Nomor 5  Tahun 2002  Tentang Pengaturan Pemekaran Provinsi

Undang-Undang     Nomor    41   Tahun   2009       Tentang    Perlindungan     Lahan
 Pertanian Berkelanjutan.

Usop,S.R. 2012. Budaya Betang (Implementasi Pendidikan Karakter di UNPAR).       Universitas Palangka Raya. Palangka Raya.